Rabu, 12 Oktober 2016

Sekilas Tentang Peh Cun

Duanwu Jie (Hanzi: 端午節) atau yang dikenal dengan sebutan festival Peh Cun di kalangan Tionghoa-Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan(Hanzi: 扒船, bahasa Indonesia: mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga bukan lagi praktik umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini.
Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou. Perayaan festival ini yang biasa kita ketahui adalah makan bakcang (Hanzi: 肉粽, hanyu pinyin: ròuzòng) dan perlombaan dayung perahu naga. Karena dirayakan secara luas di seluruh Tiongkok, maka dalam bentuk kegiatan dalam perayaannya juga berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun persamaannya masih lebih besar daripada perbedaannya dalam perayaan tersebut.

Asal Usul Peh Cun

Dari catatan sejarah dan cerita turun temurun dalam masyarakat Tiongkok, asal usul festival ini dapat dirangkum menjadi 2 kisah:


1. Peringatan atas Qu Yuan

Qu Yuan (Hanzi: 屈原) (339 SM - 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu (Hanzi: 楚) di Zaman Negara-negara Berperang. Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan setia pada negaranya, banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi (齊) untuk memerangi negara Qin (秦). Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang padanya yang berakhir pada pengusirannya dari ibu kota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Miluo. Ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji.
Lalu menurut legenda, ia melompat ke sungai pada tanggal 5 bulan 5. Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri. Kemudian untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.

2.  Bermula Dari Tradisi Suku Kuno Yue di Tiongkok Selatan

Perayaan sejenis Peh Cun ini juga telah dirayakan oleh suku Yue di selatan Tiongkok pada zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han. Perayaan yang mereka lakukan adalah satu bentuk peringatan dan penghormatan kepada nenek moyang mereka. Kemudian setelah terasimilasi secara budaya dengan suku Han yang mayoritas, perayaan ini kemudian berubah dan berkembang menjadi perayaan Peh Cun yang sekarang kita kenal.


Kegiatan dan Tradisi
  • Lomba Perahu Naga : Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak Zaman Negara-negara Berperang. Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan diselenggarakan setiap tahunnya baik di Tiongkok Daratan, Hong Kong, Taiwan maupun di Amerika Serikat. Bahkan ada perlombaan berskala internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari manca negara, kebanyakan berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara. Perahu naga ini biasanya didayung secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.
  • Makan Bakcang : Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Peh Cun sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bakcang telah populer di Tiongkok, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi. Di Taiwan, pada zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bakcang yang dibawa oleh pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isi bakcang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada yang isinya sayur-sayuran, ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama serikaya, gula manis.
  • Menggantungkan Rumput Ai dan Changpu : Peh Cun yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan pembersihan, lalu menggantungkan rumput Ai (Hanzi: 艾草) dan changpu (Hanzi: 菖埔) di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.
  • Mandi Tengah Hari : Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, Hakka), Guangdong(Teochiu, Kengchiu, Hakka) dan Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari festival Peh Cun ini, dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila dengan mandi ataupun diminum setelah dimasak.
  • Dan masih banyak kegiatan dan tradisi lainnya yang berbeda-beda di masing-masing propinsi di Tiongkok. Suku Manchu, Korea, Miao,Mongol juga merayakan festival ini dengan tradisi mereka masing-masing.

Perayaan Peh Cun di Tangerang
Perayaan Peh Cun ini mulai digelar di Tangerang sekira tahun 1910. Hal ini dikarenakan sungai di Jakarta sudah dangkal, sehingga dipindahkan ke Tangerang di Sungai Cisadane.
Dahulunya, tahun 1938 dibuatlah sepasang Perahu Naga oleh Lim Tiang Hoat di daerah Kedaung Barat. Namun, pada tahun 1942 di masa kedatangan Jepang, Perahu Naga tersebut dibakar oleh Jepang. Perayaan ini pun sempat terhenti sejak tahun 1965.
Namun pada tahun 2000, Pemerintah Kota Tangerang menghidupkan kembali tradisi Peh Cun hingga sekarang.
Perayaan Peh Cun di Sungai Cisadane, Tangerang, merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Perayaan yang digelar rutin oleh perkumpulan Boen Tek Bio ini selalu diisi oleh berbagai ritual dan tradisi unik.
Dalam perayaan ini, diadakan berbagai tradisi yang tidak lepas dari kebudayaan sungai, seperti lomba perahu naga, lomba menangkap bebek, lempar bacang, hingga mendirikan telur di waktu Twan Ngo.
Lomba perahu naga di Sungai Cisadane, Tangerang
Tradisi lempar bebek
Bacang
waktu Twan Ngo, saat ketika telur bisa berdiri tegak.

Seiring perjalanan waktu, perayaan Peh Cun yang semakin mengakar di masyarakat Tangerang membuat perayaan ini menjadi festival yang menarik. Penyelenggaraannya pun menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke kota ini. Tapi yang terpenting, perayaan Peh Cun merupakan sikap menghayati kembali nilai-nilai patriotisme Qu Yuan sambil terus melestarikan Sungai Cisadane agar tetap asri dan bersih.
Humas Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Oey Tjin Eng, mengatakan bahwa tradisi ini masih ada hingga sekarang. Pada acara itu, banyak orang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Acara ini pun biasanya dihadiri oleh peserta dan penonton dari luar Tangerang. Tjin Eng mengatakan acara ini bisa diikuti hingga 20 regu yang membawa orang-orang profesional. “Tiap tahun ada dragon boat, bisa sampai 20 regu,” tutupnya.