Selasa, 29 November 2016

Review Buku "Peradaban Tionghoa Selayang Pandang"




Judul Buku: Peradaban Tionghoa Selayang Pandang
Penulis: Nio Joe Lan
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: 2013
Tebal Halaman: i-viii + 364









Resensi Buku:
     Peradaban Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat, karya sastra, perayaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia masa kini.

     Membaca buku ini kita diajak melihat kembali akar peradaban yang menjadi salah satu unsur pembentuk budaya Indonesia. Sang penulis sendiri, Nio Joe Lan (1904-1973) adalah seorang penulis Melayu Tionghoa terkemuka di zamannya. Di dalam buku ini penulis menuturkan dengan lugas makna berbagai leluri atau adat istiadat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

     Buku ini terdiri atas 20 bab, di antaranya adalah:


1. Nama Tionghoa
     Pada bab ini, penulis meyatakan bahwa nama Tionghoa tidaklah sulit seperti yang dikatakan orang-orang pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan, nama Tionghoa termasuk pada nama-nama yang dapat diingat dengan mudah karena nama-nama itu terdiri atas paling banyak empat buah suku kata. Nama orang Tionghoa terdiri atas dua bagian, yaitu apa yang disebutkan 'she' dan nama pribadinya. Cara membaca nama Tionghoa sendiri berbeda-beda tergantung dengan dialek-dialek yang ada di daerah tersebut. Selain itu, di dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana orang Tionghoa menetapkan pemilihan nama bagi anaknya.

2. Bahasa Pergaulan Orang Tionghoa
     Bab ini menjelaskan bagaimana orang Tionghoa berbicara dalam kehidupan antar masyarakat. Beberapa orang Tionghoa masih ada yang menggunakan dialek -dialek Tionghoa, namun ada juga orang Tionghoa yang sudah tidak menguasai bahasa Tionghoa. Bahkan beberapa di antaranya sudah mahir berbahasa daerah di mana ia tinggal. Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia sendiri terdapat juga kata-kata yang sebenarnya berasal dari serapan bahasa Tionghoa, seperti owe, gua, lu, loteng, bihun, bakmi, cepek, gopek, dan sebagainya.

3. Sebutan Kekeluargaan
     Bab ini menjelaskan betapa pentingnya kedudukan keluarga dalam kehidupan orang Tionghoa. Karena keluarga mendapat kedudukan yang sangat penting, tidaklah mengherankan jika sebutan-sebutan atau panggilan-panggilan kekeluargaan antara bangsa Tionghoa yang paling besar jumlahnya dibandingkan bangsa-bangsa yang lain. 

     Sebutan-sebutan kekeluargaan dalam keluarga Tionghoa sendiri berbeda-beda berdasarkan dialek etnis masing-masing. Contohnya ada orang Tionghoa yang memanggil ayahnya hutjin, thia, thia-thia, entjek, asuk, papa dan sebagainya. Sebutan-sebutan keluarga ini dibahas lengkap di dalam bab ini, mulai dari panggilan ayah, ibu, kakak, paman, bibi, dan anggota keluarga lainnya. Selain itu bab ini juga menjelaskan bagaimana seorang Tionghoa menyebutkan orang lain.

4. Makna Warna bagi Kehidupan Orang Tionghoa
     Bab ini menuturkan bahwa warna memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Tionghoa karena kehidupan tanpa warna merupakan kehidupan yang kering, dan tidak mengenal keriang-gembiraan. Karena manusia memiliki ketertarikan pada warna, maka tersusunlah simbol warna pada beberapa bangsa dan agama. Dalam bahasa Tionghoa kata berwarna seringkali diterjemahkan dengan tujuh warna. Kata “tujuh” dalam hubungan ini harus diartikan semua.

     Dalam kehidupan Tionghoa warna memiliki berbagai makna, warna Ungu unggul pada Zaman Chou (1027-21 SM) dalam sembahyang besar disajikannya seekor kerbau yang berbulu unggu. Kuning melambangkan warna kekaisaran. Warna merah melambangkan simbol Kebahagian, bahkan warna merah juga mempunyai arti tersendiri dalam perayaan Tahun Baru Imlek, pernikahan, hari ulangtahun dan kelahiran. Warna Putih melambangkan simbol perkabungan. Peranan warna biru bagi Orang Tionghoa terutama bagi golongan sarjana dan dalam hal kematian atau perkabungan.

5. Kepercayaan Tionghoa
     Bab ini menyanggah pernyataan bahwa orang Tionghoa hanya memeluk agama Buddha. Bab ini menjelaskan beberapa kepercayaan yang dianut dan diyakini oleh masyarakat Tionghoa. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan dan konfusianisme, Taoisme Lao Tze, Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, Wen Wang, dan sebagainya Bab ini juga menjelaskan beberapa kisah-kisah yang berkembang di masyarakat Tionghoa. Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

6. Kuil-kuil Tionghoa
     Di bab ini kita dapat mengetahui tentang kuil-kuil Tionghoa. Berbeda dengan kuil di Tiongkok yang tidak hanya berfungsi sebagai rumah pemujaan, melainkan pusat kegiatan bagi masyarakat umum, kuil di Indonesia tidak terlalu jelas terlihat apa sifat sosial kuil itu.

     Kuil Tionghoa sendiri, dibagi menjadi 3 golongan, golongan pertama adalah kuil Budhistis, golongan kedua adalah kuil Taoistis, dan golongan ketiga merupakan kuil yang dibangun bukan untuk pemujaan bagi para dewa, melainkan untuk memperingati seseorang yang berjasa dan menjadi panutan masyarakat.

     Di Indonesia terdapat beberapa kuil yang cukup dikenal oleh masyarakat, seperti Kuil Kim Tek I, Kuil Kuan Yin, Kuil Tiao Kak Si, Kuil Ma Tjo Po, Kuil Hok Tek Tjeng Sin, Kuil Kung Tze, Kuil Sam Po Kong, dan lain-lain.  

7. Berjalan di Atas Api di Kuil Tionghoa
     Di bab ini kita dapat mengetahui tentang salah satu upacara di mana salah seorang berjalan atas bara yang tengah menyala-nyala, atau berjalan atas batu yang telah dibakar, Walaupun memijak bara atau batu yang panas itu, kaki orang yang berjalan diatasnya sama sekali tidak menunjukkan luka terbakar. Orang-orang yang berjalan di atas api itu sedang berada di keadaan 'trance' sebuah hukum alam. Selain berjalan di atas api terdapat juga upacara mandi minyak mendidih, dan potong lidah pada beberapa kuil.

8. Pemujaan Leluhur
      Bab ini menjelaskan bagaimana orang Tionghoa sangat memuja leluhurnya. Dengan melakukan pemujaan dapat dikatakan bentuk penghormatan kepada orang yang telah lebih dulu meninggalkan kita. Hal inilah yang disebut dasar-dasar kecintaan pada leluhur.

     Terdapat dua anggapan mengenai pemujaan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Anggapan pertama ialah bahwa arwah manusia hidup terus. Dengan memujanya diharapkan arwah leluhur itu melindungi keturunannya dari malapetaka. Anggapan kedua melihat dalam pemujaan leluhur antara lain peringatan bagi leluhur yang telah memberikan hidup kepadanya.

9. Bakti Anak pada Orangtua
     Bab ini menunjukkan bahwa bakti anak pada orangtuanya menjadi salah satu nilai kemanusiaan orang Tionghoa. Dalam masyarakat Tioghoa, berbakti kepada orang tua menunjukkan norma anak tersebut. Apabila anak tidak berbakti kepada orang tuanya dapat memberikan kutukan kepada anak tersebut (put-hao).

      Bab ini juga menjelaskan bagaimana seorang anak Tionghoa berbakti kepada orang tuanya yang telah wafat dengan melakukan beberapa tradisi dan ritual berkabung, salah satunya adalah dengan adanya hari raya makan dingin atau  Tjeng Beng.

10. Huruf Tionghoa dan Pelbagai Tugasnya
     Bab ini menjelaskan tentang huruf-huruf Tionghoa dimana merupakan sebuah alat pengantara pikiran yang sesungguhnya memiliki kedudukan khas antara alat-alat komunikasi pikiran manusia. Huruf-huruf itu bukan huruf yang menyusun kata-kata, huruf-huruf tersebut adalah kata-kata. Tiap hururf sebuah kata dengan arti dan suara yang khas.Huruf Tionghoa itu sendiri berasal dari gambar-gambar. Sebab itu menulis huruf Tionghoa sama juga melukis gambar.

11. Kaligrafi
     Bab ini berkaitan dengan bab sebelumnya, karena jika membicarakan tentang huruf Tionghoa pasti juga membicarakan tentang kaligrafi. Kaligrafi itu sendiri adalah ilmu menulis indah. Dalam menulis huruf Tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut terlihat indah. Kaligrafi digunakan orang Tionghoa sebagai hiasan, doa, dan memuja dewata dengan hanya menuliskan namanya menggunakan kaligrafi.

12. Hari Raya Tionghoa
     Bab ini menjelaskan Hari raya-hari raya yang ditaati dan dirayakan oleh orang Tionghoa. Hari raya Tionghoa berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa Tionghoa. Tetapi di Indonesia tidak semua hari raya Tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya Tionghoa yang biasanya dirayakan di Indonesia yaitu Imlek yang merupakan hari tahun barunya orang Tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang Tionghoa melakukan sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit,bumi,dan manusia, Tjeng Beng biasanya orang Tionghoa membersihkan makam dan sembahyang dimakam leluhur, Phetjun biasanya orang Tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan perahu berbentuk naga  diatas air.

13. Suka Ria Tionghoa
     Bab ini menjelaskan peristiwa-peristiwa kehidupan yang membuat orang Tionghoa bersuka ria. Suka ria Tionghoa yang menjadi alasan dalam bersuka ria adalah peristiwa kelahiran dan pernikahan. Dalam kelahiran didalam suasana bergembira, orang Tionghoa mempercayai beberapa pantangan sebelum kelahiran itu terjadi. telur telur yang dimerahkan kulitnya menjadi suatu pemberitahuan kepada sanak keluarga atas kelahiran seorang anak. Dan perayaan mo-gue digelar untuk merayakan anak tersebut genap satu bulan kelahirannya, setelah satu tahun dirayakan hari ulang tahun pertama anak itu dengan dikenakannya pakaian yang serba baru.

     Selain kelahiran, menurut pandangan Tionghoa umur sesorang bertambah pada saat tahun baru imlek dirayakan. Perayaan ulang tahun orang Tionghoa jika sudah dewasa maka anak-anaknya yang merayakannya sebagai tanda bakti kepada orangtuanya, dimana dapat dilakukan shejit besar yakni diatas umur 50 tahun seperti tahun ke-51, ke-61, ke-71 dan selanjutnya yang berhubungan dengan angka satu dimana melambangkan kesepuluhan tahun yang baru. Hadiah khas ulang tahun bangsa Tionghoa adalah mishoa dan gula batu yakni melambangkan suatu doa panjang umur.

     Selain kelahiran dan ulang tahun, suka ria terjadi pada pernikahan. Upacara pernikahan orang Tionghoa-totok berbeda dengan upacara perkawinan Tionghoa-peranakan. Pernikahan tersebut didasari oleh ‘Phe Dji’ perhitungan horoskop kedua pihak. Pakaian mempelai pria ialah jubah biru dengan kopiah cetok dan mempelai wanita yang berwarna merah marun beserta kembang goyang dan dilakukan cio-tau dan sembahyang kepada tuhan ‘sam kai’ dan hanya boleh sekali. Pada jaman dahulu dipantang keras menikah dengan sesama she karna dianggap pernikahan antara sanak keluarga. She wanita tetap dipakai walaupun sudah menikah.

14. Duka Cita Tionghoa 
      Kebalikan dari bab sebelumnya, bab ini menjelaskan peristiwa-peristiwa yang membawa duka cita untuk orang Tionghoa. Duka cita  dialami seseorang jika sanak keluarganya jatuh sakit atau kematian. Di Indonesia, ada orang Tionghoa yang sudah menyediakan satu buah peti jenazah juga baju mati atau yang disebut siu-I ‘baju panjang umur’, dengan maksud agar tidak merepotkan bila terbit suatu kebutuhan akan itu. Orang Tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang seekor burung bangau, dimana kedua itu berasal dari Taoistis.
       
      Satu hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu pula untuk para anak dan menantu laki-laki.

     Sembahyang yang diadakan dalam upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti, sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong 'Raja akhirat'. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar disebut memakai putih dengan lamanya 3 tahun menurut peraturan peradaban Tionghoa.

15. Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun
      Bab ini menjelaskan tentang perhitungan tahun yang dilakukan orang Tionghoa atau dikenal juga sebagai Shio. Bangsa Tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’ yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang Tionghoa. Selain itu juga terdapat pantangan-pantangan ciong pada shio-shio tertentu yang tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.

16. Sastra Tiongkok
     Bab ini menjelaskan tentang karya-karya sastra Tiongkok yang berkembang di Indonesia dan telah mengalami asimilasi/perpaduan dengan budaya Indonesia. Orang Tionghoa yang sudah menetap dan tumbuh di Indonesia, kebanyakan sudah tidak dapat berbahasa atau mengerti bahasa Tionghoa lagi. Namun perhatian terhadap sastra Tiongkok tetap muncul dan berkembang karena kebanyakan orang tua mereka mengisahkan riwayat Tiongkok kepada mereka.

     Beberapa karya sastra Tiongkok berkembang di Indonesia melalui beberapa media, seperti peran wayang Tiongkok, tukang cerita, sastra Tiongkok dalam bahasa Melayu-Rendah, beberapa terjemahan-terjemahan, cverita-cerita, kumpulan cerpen, sandiwara, serta melalui 'omongan kecil'.

17. Kebudayaan Tiongkok dalam Sastra Indonesia-Tionghoa
     Bab ini menjelaskan tentang sastra Indonesia-Tionghoa. Sastra Indonesia-Tionghoa adalah cerita-cerita dalam bahasa Indonesia-Tionghoa. Dapat dikatakan lahirnya sastra Indonesia-Tionghoa itu sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat Tiongkok inilah yang menerjamahkan ke dalam bahasa Melayu-Rendah yang telah dimulai pada akhir abad ke-19. Walaupun demikian, Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebuah negeri asing bagi mereka. Sastra Indonesia-Tionghoa dapat dikatakan mulai berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 karena pengarang-pengarang Tionghoa-peranakan zaman sebelum perang Pasifik dikatakan semuanya telah menjadi WNI.

18. Simetrika dalam Kehidupan Tionghoa
     Bab ini menjelaskan bagaimana simetrika memegang suatu peran penting dalam kehidupan Tionghoa. Hal ini ditunjukkan pada bagian atas jendela di sebelah kanan dan kiri rumah Tionghoa terdapat dua buah huruf Tionghoa besar  yang dilukiskan di tengah motif bunga-bunga. Kedua pasang huruf tersebut saling simetris, jumlah huruf di kanan dan kiri sama. Bagi yang mengerti bahasa Tionghoa, keadaan simetris bermakna lebih jauh pula. Selain itu simetrika juga ditunjukkan di dalam panji 'lian', bab-bab novel cerita klasik Tiongkok, juga permainan bahasa dan  kebudayaan.

19. Simbolik Tionghoa
     Bab ini menjelaskan tentang simbolik atau perlambangan Tionghoa yang merupakan suatu bagian yang menawan hati dalam kehidupan bangsa. Simbolik Tionghoa dalam Indonesia cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol. Seperti burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan lambang berlebih-lebihan, pohon lambang cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang cinta kekal.

20. Kehidupan Kesenian Orang Tionghoa
     Pada bab terakhir pada akhir buku ini dijelaskan tentang bagaimana kehidupan kesenian orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadi dalam kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Walaupun di Indonesia kita sering melihat hasil seni Tiongkok, tetapi di dalam bab ini yang akan dibicarakan hanya beberapa hasil seni Tiongkok yang telah terjalin dalam kehidupan orang Tionghoa di Indonesia, seperti seni bangunan, seni pahat, kepandaian keramik, seni lukis tradisional, karya sulaman, musik, seni suara, gambang kromong, serta wayang cokek.

Kelebihan Buku:
     Melalui buku ini kita dapat mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan peradaban Tionghoa, mulai dari sejarah, tradisi, adat istiadat, kepercayaan, dan kebudayaan Tionghoa. Di dalam buku ini juga terdapat beberapa ilustrasi yang menarik dan dapat membuat pembaca terbawa ke dalam suasana yang penulis sampaikan. Buku ini sangat recomended bagi pembaca yang ingin mempelajari peradaban Tionghoa khususnya yang ada di Indonesia.

Kekurangan Buku:
     Selama membaca buku ini, saya tidak menemui banyak kekurangan, hanya saja ada beberapa kesalahan ketik dan juga ada beberapa kalimat, serta pemilihan kata yang tidak efektif, yang membuat pembaca harus mebaca dua kali untuk mengerti apa maksud dari sang penulis.

0 komentar:

Posting Komentar